DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

1 2017 Konflik Nelayan Desa Tamasaju dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul dalam rangka reklamasi menyebabkan rusaknya lingkungan di Desa Tamasaju khususnya di pesisir dan lautnya, dan juga menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat.
Pasir Laut
Pertambangan
2 2017 Konflik Nelayan Desa Tamalate dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul dalam rangka reklamasi menyebabkan rusaknya lingkungan di Desa Tamalate khususnya di pesisir dan lautnya, dan juga menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat.
Pasir Laut
Pertambangan
3 2017 Konflik Nelayan Desa Sampulungan dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul dalam rangka reklamasi menyebabkan rusaknya lingkungan di Desa Sampulungan khususnya di pesisir dan lautnya, dan juga menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat.
Pasir Laut
Pertambangan
4 2017 Konflik Nelayan Desa Kaluku Bodo dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul dalam rangka reklamasi menyebabkan rusaknya lingkungan di Desa Kaluku Bodo khususnya di pesisir dan lautnya, dan juga menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat.
Pasir Laut
Pertambangan
5 2017 Konflik Masyarakat Desa Galesong Kota dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Masyarakat Desa Galesong Kota yang umumnya berprofesi sebagai nelayan terganggu oleh adanya pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul sehingga pendapatan yang didapat menjadi berkurang.
Pasir Laut
Pertambangan
6 2017 Konflik Nelayan Desa Boddia dengan Pertambangan Pasir Laut PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul Pertambangan pasir laut yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan PT. Jan De Nul dalam rangka reklamasi menyebabkan rusaknya lingkungan di Desa Boddia khususnya di pesisir dan lautnya, dan juga menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat.
Pasir Laut
Pertambangan
7 1985 Konflik Masyarakat Adat Seko dengan PT. Seko Fajar Plantation Pada tahun 1985 PT. Seko Fajar Plantation melakukan pengkaplingan di wilayah adat Orang Seko. Perusahaan kemudian baru mulai melakukan studi kelayakan untuk pengembangan perkebunan teh di wilayah adat Seko pada 1989. Pada tahun 1996, PT. Seko Fajar Plantation mendapat Sertifikat HGU No. 1/1996 tertanggal 10 Agustus 1996 dan Sertifikat HGU No. 2 tertanggal 16 Agustus 1996, dengan luas keseluruhan areal 23.718 hektar (data dari masyarakat saat FGD seko padang). Dalam perkembangannya, PT. Seko Fajar Plantation tidak melakukan aktifitas sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagaimana termaksud dalam Sertifikat HGU. Tahun 2012, Kepala BPN RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/PTT-HGU/BPN RI/2012, tanggal 18 Januari 2012 tentang Penetapan Tanah Terlantar atas tanah Hak Guna Usaha Nomor 1 atas nama PT Seko Fajar Plantation dan Surat Keputusan Nomor 6/PTT-HGU/BPN RI/2012, tanggal 18 Januari 2012 tentang Penetapan Tanah Terlantar atas Tanah Hak Guna Usaha Nomor 2 atas nama PT Seko Fajar Plantation. Tanggal 28 Pebruari 2012, PT. Seko Fajar Plantation mengajukan gugatan atas Surat Keputusan tersebut, dan putusan terhadap gugatan tersebut memenangkan pihak perusahaan (PT. Seko Fajar Plantation). Karena itu, sampai saat ini tanah-tanah masyarakat secara administrasi masih dikuasai oleh PT. Seko Fajar Plantation, meski fakta di lapangan menunjukkan bahwa PT. Seko Fajar Plantation tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Perkebunan Teh
Perkebunan
8 2011 Konflik Pertambangan Antara Komunitas Adat Rampi Dengan PT Citra Palu dan PT Lalu Bamba Pada 27 oktober 2013, melalui Tokoh Adat Rampi, masyarakat adat rampi dengan tegas menolak secara keseluruhan kegiatan pertambangan yang ada dirampi, sikap penolakan tersebut disertai tanda tangan penolakan warga. Ada beberapa hal yang kemudian menjadi alasan dalam penolakan yang dilakukan masyarakat rampi, sebagai berikut: Pertama; masyarakat rampi selama ini hidup dan menyekolahkan anak-anaknya dengan berternak hewan, jika perusahaan tambang masuk maka masyarakat rampi tidak akan bisa lagi berternak hewan dengan baik karena lingkungan akan rusak bahkan bisa jadi hewan-hewan yang selama ini dijadikan ternak akan punah. Kedua; masyarakat rampi meyakini bahwa dengan adanya tambang maka rampi kedepan akan tenggelam, bahkan daerah hilir yang berbatasan dengan rampi seperti mamuju, palu pun akan ikut tenggelam, ketiga; wilayah rampi tidak layak huni lagi jika ditambang karena sedikit demi sedikit akan menyempit sementara kita tidak sedang berbicara tentang hari ini esok dan lusa melainkan kita sedang berbicara untuk anak cucu kita, untuk dua puluh tahun mendatang. Jadi penolakan masyarakat adat rampi tidak semata-mata berbicara soal kelestarian lingkungan diwilayah rampi tapi juga berbicara soal wilayah tetangga yang beririsan langsung dengan rampi sehingga ini kemudian menjadi alasan kemanusiaan yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah Luwu Utara.
Pertambangan Logam Dasar
Pertambangan
9 2011 Konflik Pertambangan Antara Komunitas Adat Rongkong Dengan PT Citra Palu dan PT Lalu Bamba
Pertambangan Logam Dasar
Pertambangan
10 1968 PT.Vale Mengubah Lahan Pemukiman Masyarakat Adat Karunsi’e Menjadi Lapangan Golf. Kemunculan perusahaan tambang di suatu wilayah menjadi fenomena bernuansa konflik berkaitan dengan pemanfaatan ruang antara perusahaan dengan masyarakat setempat yang terjadi di Luwu Timur. Konflik yang terjadi antara masyarakat adat To Karunsi’e dengan PT. Vale Indonesia terkait masalah kepemilikan tanah pertambangan di Kabupaten Luwu Timur. Konflik terjadi antara masyarakat adat dengan PT.Vale Indonesia disebabkan PT.Vale telah menduduki lahan masyarakat adat to Karunsi’e yang mengubah lahan pemukiman masyarakat adat menjadi lapangan golf.
Manufacture
Pertambangan
Displaying : 1 - 10 of 47 entries, Rows/page: