Konflik Perkebunan PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PTSKPI) VS Warga Desa Wonosari
Pada tahun 2005, tanah seluas 60 ha yg berada di wilayah Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar dijadikan proyek pengembangan tanaman karet rakyat sebagai penyangga oleh Kantor Perkebunan Aceh Taming dengan dana yg bersumber dari APBD tahun 2005. Namun daerah ini, tahun 2007 sudah diperjualbelikan secara bawah tangan, kepada pihak PT Sinar Kaloy Perkasa Indo, seluas 195 Ha. Namun Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang tidak mengambil tindakan (membiarkan). Pada tanggal 31 Oktober 2008, Dishutbun Aceh Tamiang mengeluarkan Rekomendasi Penambahan Lahan di Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar, dengan surat nomor 522/2350/2008 dan SK BUPATI 1 Juni 2008 menerbitkan Rekomendasi Ijin Usaha Perkebunan Nomor 522/9187/2008 berikut mengesahkan peta lokasi, PT SKPI juga meminta rekomendasi ijin penambahan 200 hektar lahan yg berada di kawasan Konservasi Gunung Titi Akar tersebut. Sengketa warga Desa Wonosari dan PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo (Perusahaan HGU) terjadi sejak tahun 2008 sampai Oktober 2011, tidak ada penyelesaian konkrit oleh Pemda Aceh Tamiang, dalam hal ini Bupati, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta DPRK Aceh Tamiang dan telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat Masih Nanok, padahal PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo telah memiliki HGU seluas 500 Ha (sebelumnya) SK HGU No. 24-HGU-BPN-RI-2007 tanggal 29 Mei 2007 tidak bermasalah dengan masyarakat
Perkebunan Karet
Perkebunan
182
1995
Konflik PT. Boswa Megalo Polis VS Masyrakat Desa Curek
Perusahaan yang bernama PT. Boswa Megalo Polis telah lama mendapat izin di daerah Provinsi Aceh, yaitu pada Tahun 1995. Berhubung Aceh tidak kondusif sehingga perusahaan ini tidak aktif. Setelah GAM ( gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Republik Indonesia menanda tangani MoU Helsinki pada tahun 2005 maka Provinsi Aceh secara perlahan-lahan kondusif dan keamanan dapat dikendalikan. PT. Boswa Megalo Polis yang telah memegang izin di Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Jaya mulai beroperasi lagi : Pertama : PT. Boswa Megalo Polis menggarap Kebun Kelapa Sawit Di Desa Curek Kecamatan Krueng Sabe Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh Negara Indinesia dan Sekitarnya dengan dasar Izin HGU yang perusahaan tersebut kantongi. Sehingga Masyarakat Gampong / Desa Curek Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh memprotes keberadaan PT.Boswa Megalo Polis tersebut karena sumber Air yang terdapat di Gampong ( Desa) Curek yaitu Sungai Curek telah di cemari oleh PT tersebut sehingga bagi masyarakat sulit mendapat air bersih karena dialiri oleh tanah liat dan oli bekas ke dalam sungai tersebut
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
183
2017
Klaim Sepihak Wilayah Adat Masyarakat Adat Golat Simbolon dengan Pemerintahan Kabupaten Simosir Serta KLHK
Wilayah Adat Golat Simbolon yang terdiri dari Golat Barat dan Golat Jongong merupakan bagian dari Bius Si Tolu Hae Horbo (Simbolon, Naibaho dan Sitanggang). Berada di wilayah administrasi Desa Sijambur, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kabupaten Samosir. Namun, Wilayah adat mereka diklaim secara sepihak oleh pemerintahan Kabupaten Simosir dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Kawasan Hutan Lindung. Kasus klaim secara sepeihak ini diawali ketika adanya program Kehutanan menanam serai di Desa Sijambur pada April 2017. Kegiatan ini kemudian mendapatkan penolakan oleh Bupati Samosir bekerjasama dengan Polres Samosir. Dari kejadian ini masyarakat baru mengetahui bahwa status wilayah adat yang diclaim sepihak oleh Negara sebagai Hutan Lindung. Dan di bualn yang sama Bupati Samosir melakukan sosialisasi mengenai kebakaran hutan, dalam hal ini masyarakat keberatan mengenai status wilayah adat yang diclaim sepihak oleh Negara. Dan berikutnya pada 2-4 Juni 2017, UPT kehutanan melakukan pengukuran, masyarakat tidak mengetahui tujuan kegiatan ini dan pengukuran ini tidak melibatkan masyarakat umum di Sijambur
Hutan Lindung
Hutan Lindung
184
2005
Konflik Masyarakat Adat Kampung Nagahulambu dengan PT Toba Pulp Lestari
Wilayah Adat Kampung Nagahulambu adalah bagian dari desa administrasi Desa Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Pangaribuan, Kabupaten Simalungun. Meskipun berada di Kabupaten Simalungun, Nagahulambu masih merupakan bagian dari sub etnis Batak Toba. Dan untuk mempertahankan wilayah adatnya, masyarakat harus berjuang melawan perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Konflik perampasan tanah oleh PT TPL atas wilayah adat Nagahulambu mulai mencuat pada tahun 2005 saat PT TPL melakukan penebangan atas berbagai tanaman milik warga. Pada waktu itu, warga sangat ketakutan karena PT TPL selalu didampingi aparat (Brimob) dengan senjata lengkap. Bahkan Kepala Desa waktu itu membuat pengumuman di kampung agar warga tidak ke ladang. Namun ternyata tujuannya hanya untuk mengelabui warga agar PT TPL bebas melakukan penebangan terhadap tanam-tanaman warga. Tanaman-tanaman seperti pohon-pohon alam yang berumur ratusan tahun, jengkol, petai, durian dan kopi, di bulldozer oleh PT TPL. Masyarakat berkali-kali memohon bahkan menyembah-nyembah pihak TPL agar tanaman-tanaman tersebut jangan dibuldozer, Namun diabaikan oleh pihak perusahaan
HPH
Hutan Produksi
185
1976
Konflik Agraria Masyarakat Horjokuncuran VS TNI
Tanah Desa Harjokuncaran berdasarkan SK DJA Nomor 190/Dja/1981 tanggal 1 Desember tahun 1981, menetapkan tanah verponding No 926, 752, 708, 7311,1290 dan 1311 sudah ditetapkan tanah yang Obyek Landerform. Berdasarkan SK tersebut tanah seharusnya didistribusikan kepada 2.525 KK kepada petani yang berada di Desa Harjokuncaran. Namun,pada 16 Januari 1970, ada Musyawarah Batu yang dihadiri oleh Muspika Kabupaten Malang, Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Timur selaku ketua pertimbangan perkebunan, sekertaris Landreform tingkat I Jawa Timur, Muspika Kabupaten Malang, pengawasan pendaftaran tanah kabupaten Malang, pembantu Bupati KDH tingkat II kabupaten Malang dari Turen, Tri Tunggal kecamatan Sumbermanjing Wetan, Direksi Dwikora kesatuan VII dari Surabaya serta Administrator perkebunan Telogorojo tanpa kehadiran warga desa Harjokuncaran maupun kepala desa. Inti dari musyawarah tersebut bahwa tanah perkebunan yang menjadi ladang pertanian dan tempat tinggal penduduk harus kembali dalam kekuasaan perkebunan.
Perkebunan Karet
Perkebunan
186
1972
Konflik Masyarakat Adat Bius Hutaginjang dengan KLHK
Wilayah Adat Bius Hutaginjang. Dalam perjalananya wilayah adat Bius Huta Ginjang bergabung dengan wilayah adat Bius Tapian Nauli menjadi Desa Hutaginjang dimana Wilayah Bius Huta Ginjang masuk dalam Dusun II dan Dusun III di Desa Hutaginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Namun, saat ini wilayah adatnya diklaim secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK mengklaim secara sepihak menjadi Kawasan Hutan Lindung.
Hutan Lindung
Hutan Lindung
187
2017
Perjuangan Masyarakat Desa Sei Hambawang Menuntut Hak Kebun Plasma kepada Perusahaan Sawit PT Surya Mas Cipta Perkasa dan PT BAFM
Pemberian hak plasma kepada warga desa Sei Hambawang Kecamatan Sebagau Kuala Kabupaten Pulang Pisau dijanjikan oleh perusahaan. Saat 15 Agustus 2011 ada kesepakatan dari hasil rapat dari pemerintah daerah Pulang Pisau yang diwakili oleh Seketaris Daerah dan PT Surya Mas Cipta Perkasa yang diwakili oleh Kuasa Hukum dari Direktur PT SCP. Isi kesepakatan tersebut antara lain Pihak mediasi Kabupaten Pulang Pisau mengusulkan nilai ganti rugi sebesar Rp.500.000 per hektar atas tanah masyarakat yang diusahakan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan. Perusahaan akan segera menyelesaikan Pembuatan Kebun Masyarakat/Kebun Plasma, serta Perbaikan jalan dan jembatan kabupaten Pulang Pisau yang dilalui oleh perusahaan. Apabila pihak kedua tidak menyelesaikan sesuai dengan kesepakatan maka proses selanjutnya kan diserahkan kepada masyarakat untuk selanjutnya di proses dengan ketentuan dan peraturan perundang -undangan yang berlaku
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
188
1987
Klaim Sepihak Wilayah Masyarakat Adat Keturunan Op. Bolus Simanjuntak dan Op. Ronggur Simanjuntak oleh PT Toba Pulp Lestari
Masyarakat Adat Keturunan Op. Bolus Simanjuntak dan Op. Ronggur Simanjuntak yang wilayah adatnya Hutan Aeknapa dengan luas 2608 hektar. Pada masa penjajahan Belanda Huta Aeknapa masuk dalam nagari Sabungan Ni Huta. Setelah Merdeka, Nagari Sabungan Ni Huta dibagi dalam lima desa, yakni Desa Sabungan Ni Huta, Desa Siparendean, Desa Dolok Nagodang, Desa Sigala-gala dan Desa Huta Mamungka. Wilayah adat yang saat ini diklaim pihak PT TPL berada di Desa Sigala-Gala, atau yang akrab disebut dengan Desa Sabungan Ni Huta IV, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
HPH
Hutan Produksi
189
1996
Konflik Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora VS PT Toba Pulp Lestari
Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora yang mempunyai wilayah adat yang bernama Sitakkubak (Parpulosan, Hite Tano, Pias/Rabi, Parlogologan) yang luasanya 153 Ha. Wilayah adat tersebut berupa perladangan dan hutan adat, yang berada dalam wilayah administrasi beberapa desa seperti Lumban Purba, Batu Najagar, Sosor Tolong dan Aek Lung Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Namun, masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora harus berjuang melawan tindakan perampasan atas wilayah adatnya yang dilakukan oleh PT TPL
HPH
Hutan Produksi
190
2018
Klaim Sepihak Wilayah Adat Masyarakat adat Sigapiton oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Masyarakat adat Bius Raja Naopat Sigapition dengan wilayah adat Singapotin yang luasanya 920 Ha dan jumlah penduduk 446 jiwa (124 KK). Mereka berada di wilayah adminstratif Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata Kabupaten Samosir Sumatera Utara dan Wilayah adat tersebut diklaim secara sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan ditetapkan menjadi Hutan Lindung