Sengketa Lahan antara TNI AD dan Petani Desa Sukorejo, Jember
Pada awal abad ke 19, banyak migran yang berasa dari banyak daerah bermigrasi ke wilayah-wilayah yang masih berupa kawasan hutan untuk dibuka atau dibabat sebagai lahan pertanian ataupun perkebunan. Tak terkecuali kolonalis Belanda yang pada awal abad 19 terus melakukan eksplorasi hingga ke timur Pulau Jawa. Salah satu wilayah tersebut adalah Jember yang memiliki tanah yang subur untuk pelbagai macam jenis komoditas. Seorang yang bernama Onderneemer George Birnie menemukan lahan potensial unuk budidaya tanaman tembakau yang berada di Keresidenan Besuki yang pada 1858 mulai merintis wilayah yang secara umum masih merupakan kawasan hutan. Dengan modal yang dimiliki, Birnie, mengdatangkan para migran dan juga para pendatang lainnya untuk bekerja (secara paksa) padanya merintis kawasaan hutan tersebut dan juga membangun rel Penarukan-Klakah guna percepatan sarana distirbusi dan produksi. Kawasan yang telah dirintisnya akhirnya diajukan kepada pemerintah Belanda guna membuka perusahaan perkebunan tembakau. Pada 1870 terbitlah hak erfpacht untuk pengelolaan perkebunan selama 75 tahun oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Landbouw Matschapij Ould Djember (LMOD). Hak erfpacht yang dimiliki oleh LMOD salah satunya adalah yang berada di wilayah Sukorejo melalui hak erfpacht NV LMOD Verponding No. 414.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
272
1981
Konflik PG Cinta Manis, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Pada awal mulanya PTPN VII merupakan bekas perkebunan kolonial Belanda. Masyarakat yang menjadi pekerja-pekerja paksa di perkebunan Belanda itu masih menggarap lahan hingga 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang. Nasionalisasi perkebunan eks hak erfpacht tersebut baru dapat dinasionalisasi pada 10 November 1957. Secara legal formal diterbitkan lah PP No. 14 yang dilanjutkan PP No. 114-175 pada tahun 1959. Kemudian, perkebuanan tersebut dibagi menjadi beberapa unit-unit usaha berdasarkan jenis komoditas pada tahun 1963 yang banyak di antaranya adalah perkebunan karet.
PTPN
Eks-Perkebunan
Perkebunan
273
1975
Konflik antara PT KEM dan Penambang Pertambangan Rakyat (Tradisional)
Daerah pertambangan emas PT Kelian Equatorial Mining (PT KEM) yang berada hulu Sungai Mahakam – yang jauh sebelum keberadaan PT KEM, merupakan daerah pertambangan rakyat (tradisional), tepatnya di sekitar anak Sungai Kelian merupakan daerah asli orang Dayak yang terdiri dari beberapa suku, yang salah satunya adala Suku Kayan. Pada sekitar tahun 1948, Suku Kayan menemukan emas di daerah hulu Sungai Kelian yang merupakan daerah yang tidak berpenghuni. Akan tetapi, secara teritorial adat, daerah tersebut merupalan daerah teritorial Suku Bahau. Suku Bahau sendiri bermukim di muara Sungai Kelian. Perkampungan atau pemukiman itu disebut Long Kelian. Terdapatnya kandungan emas di daerah tersebut telah diketahui sebelumnya, namun dianggap oleh orang-orang dari Suku Bahau sendiri tidak memiliki nilai secara ekonomis atau tidak penting. Sehingga orang Suku Bahau tidak pernah menambangnya atau memanfaatkannya.
Emas
Pertambangan
274
1974
Sengketa Lahan PT Nyunyur Baru (PT Kismo Handayani), Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Blitar
Desa soso merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Secara geografis Desa Soso berada di lereng gunung yang sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan dan pertanian. Pada awal mulanya, Desa Soso merupakan bagian dari hak erfpacht Verponding No. 39, 32, 120, 308, dan 309 dengan luas lahan sekitar 472,78 Ha atas nama NV. Handels Vereniging Amsterdam. Akibat dari gejolak ekonomi global yang merusak pasar dan produksi, perusahaan NV. Handels Vereniging Amsterdam mengalami kebangkrutan/pailit. Besarnya utang kepada bank tidak dapat dilunasi sehingga lahan perkebunan yang diusahakannya menjadi terlantar.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
275
1972
Sengketa Lahan Antara PT SAMP dan Tiga Desa di Telukjambe
Tiga desa yang berada di Kecamatan Telukjambe dan Kecamatan Pangkalan, Karawang, yaitu Desa Wanakerta, Desa Wanasari, dan Margamulya yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bogor pada awal mulanya pernah tercatat sebagai Eigendom Verponding No. 54 dalam surat ukur No. 40 tahun 1845 pada masa kolonialisasi Belanda atas nama NV. Mijtot Ex Ploitatie Van De Tegal Waroe Landen seluas 55.173 Ha. Lahan dengan alas hak erfpacht tersebut dipergunakan oleh kolonial Belanda untuk dijadikan lahan perkebuan, kopi, teh, tebu, dan sebagainya dengan menerapkan kebijakan tanam paksa terhadap masyarakat.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
276
1966
Sengketa Lahan PT Pagilaran di Lima Desa, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang
Belanda memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanam tanaman kina dan kopi, namun gagal. Kondisi geografis yang berada di wilayah dataran tinggi tersebut akhirnya dialihkan menjadi perkebunan teh. Sistem sewa menyewa yang dilakukan Belanda pada saat itu sangat tidak manusiawi, yang mana masyarakat setempat dipekerjakan layaknya budak yang harus bekerja di lahan yang dikuasai Belanda (Nugroho 2007). Pada 1920, pemerintah Belanda mengundang investor asing yang berasal dari Inggris untuk mengambil alih perusahaan perkebunan tersebut, yang kemudian pada tahun 1928 didirikanlah perusahaan P&T Land’s (Nugroho 2007).
Eks-Perkebunan
Perkebunan
277
1952
Sengketa Lahan PDP Jember dengan Masyarakat Ketajek
Sengketa lahan di Perkebunan Ketajek berada di dua desa, yaitu Desa Pakis dan Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember. Secara geografis kedua desa ini berada di wilayah yang memiliki tanah subur karena berdampingan langsung dengan gunung vulkanik, Argopuro. Dengan kondisi tersebut, wilayah yang berada di dataran tinggi ini sangat mendukung baik untuk pertanian, maupun perkebunan. Pada masa kolonial Belanda, lahan Ketajek merupakan lahan yang berdiri di ata alas hak erfpacht Verponding No. 2712 seluas 125,73 Ha dan verponding No. 2713 dengan luas 352,14 Ha, yang bila dijumlahkan seluas 477,87 Ha atas kepemilikan Landbouw Maatschppij Oud Djember (LMOD) yang dimiliki seorang asing bernama George Bernie untuk ditanami tanaman kopi dan kakao.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
278
1969
Sengketa Lahan PT Ambarawa maju dan masyarakat Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen, Kabupaten Batang
Secara geografis Kabupaten Batang membentang dari wilayah dataran tinggi, pegunungan, hingga wilayah dataran rendah, perairan/ laut. Dengan luas hampir 80.000 Hektar, Kabupaten Batang menawarkan potensi sumberdaya alam yang luar biasa, mulai dari hasil-hasil perikanan, hingga hasil pertanian dan perkebunan. Desa Simbangdesa dan Desa Kebumen merupakan sedikit dari desa yang berada di Kecamatan Tulis dan Kecamatan Subah yang rata-rata jumlah penduduknya sebanyak 4.000 jiwa dan sebagian besar di antaranya bermatapencahariaan sebagai petani.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
279
1968
Konflik Lahan di Padang Halaban
Pada tahun 1968, Rasyim dan warga desa dikumpulkan di balai agung (sekarang disebut balai desa). Warga disuruh menyerahkan surat KTPPT dengan alasan akan diperbarui. Ternyata, setelah surat-surat itu diserahkan, warga diusir dari tanah yang mereka kuasai. Warga yang melawan, atau menolak menyerahkan surat KTPPT, akan dilabeli anggota BTI atau simpatisan PKI agar tindakan represif terhadap mereka mendapat pembenaran.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan Karet
Perkebunan
280
1998
Konflik Lahan di Tanjung Batang, Lampung Selatan
Sejak area tanam perusahaan diperluas, kawasan tanam yang semestinya hanya berada di satu desa, Desa Budi Lestari, meluas ke tiga desa lainnya. Desa-desa itu di antaranya ialah Desa Talang Jawa, Tri Panca Tunggal, dan Sinar Karya, meliputi 400 ha yang terpakai sebagai perluasan PT LPF. Desa Talang Jawa sendiri terkena perluasan penanaman oleh perusahaan seluas 20 ha. Warga desa akhirnya bersatu untuk merebut kembali tanah hak mereka.