Diusir dari Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat Talonang Terhempas Rezim Konsesi Perkebunan
konflik wilayah adat di Talonang mulai terjadi sejak tahun 1992, ketika pemerintah secara sepihak menetapkan wilayah Talonang sebagai daerah transmigrasi melalui SK Gubernur NTB No.404/1992 tentang Pencadangan Tanah Transmigrasi seluas 4.050 ha. Selanjutnya pada tahun 2012, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong masuknya investasi PT Dongfang Sisal Group yang membentuk perusahaan baru, yaitu PT Guangken Dongfang Sisal Indonesia dengan kepemilikan saham atau shareholding PT. Pulau Sumbawa Agro
area transmigran
Transmigrasi
302
2014
30 Tahun Negeri Tananahu Terjajah PN Perkebunan Xxviii dan Ptpn Xiv
PTPN
Perkebunan
303
2017
Kisah Masyarakat Adat Tau Taa Wana yang Terdesak
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
304
2009
Wilayah adat Barambang Katute terkikis dan semakin menyempit
Hutan Lindung
Hutan Lindung
305
2003
Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT Vale Indonesia Tbk Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan
Nikel
Pertambangan
306
2006
Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya Dianiaya di Tanah Leluhur
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
307
2014
Hilangnya Hak Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan Mengelola Sumber Daya Alamnya
Perkebunan Karet
Perkebunan
308
2017
Krisis Agraris dan Ekosistem Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu dari beberapa dekade telah mengalami degradasi dan
kerusakan ekosistem yang tinggi. Kerusakan tersebut akibat perubahan alat tangkap
masyarakat nelayan, semakin menyempitnya wilayah darat-pemukiman bagi masyarakat,
limpahan limbah minyak kapal, limbah materi dari muara-muara sungai Teluk Jakarta,
produksi sampah yang tinggi, dan aktivitas wisata bahari. Kerusakan ekosistem berdampak
pada ketersediaan ikan tangkap bagi masyarakat nelayan. Kerusakan-kerusakan ekosistem
tersebut diperparah dengan adanya penguasaan pulau-pulau kecil oleh privat dan swasta.
Lebih dari 50% pulau-pulau di Kepulauan Seribu telah dikuasai oleh privat dan swasta.
Krisis ekosistem dan agraria memberikan konsekuensi timpang pada alternatif
penghidupan masyarakat, yaitu wisata bahari. Atas dasar penguasaan pulau-pulau kecil
dan alat produksi yang lain, bisa dipastikan bahwa pihak yang akan mendapatkan manfaat
lebih besar dari sektor wisata bahari bukanlah masyarakat nelayan, tetapi pihak yang
menguasai alat produksi wisata dan khususnya privat/swasta yang menguasai pulau-pulau
kecil.
-
Pariwisata
309
2015
Sengketa tanah Warga Pulau Pari dan Swasta
Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan terhadap Dugaan Maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait dengan penerbitan SHM No. 210 dan SHG No. 9 Tahun 2015 yang di klaim milik PT. Bumi Pari Asri (“LAHPâ€). LAHP tersebut menegaskan adanya dugaan pelanggaran administrasi berupa penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan pengabaian kewajiban hukum yang dilakukan oleh BPN Jakarta Utara dalam terhadap 62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 sertifikat Hak Guna Bangunan
Taman Nasional
Kawasan Konservasi Laut
310
2017
Konflik Tenurial Wakatobi
Ketika mendengar kata "wakatobi" hal yang pertama kali muncul dalam benak adalah keindahan bawah laut yang dimiliki. Pengandaian ini tak hanya berlaku untuk warga indonesia saja melainkan bagi seluruh warga dunia. Wakatobi merupakan kawasan yang berada dalam world coral triangle memiliki kenaekaragaman hayati tinggi (khususnya biota laut) yang merupakan sumber pendapatan yang menjajikan, tak hanya untuk warga lokal dan negara, warga asingpun turut serta dalam praktek ini.Potensi ini seharusnya dapat memberikan hasil yang waksimal kesemua pihak baik masyarakat lokal, pemda, negara maupun investor jika dikelola dengan bijaksana. Konflik tenurial yang terjadi selama ini di kawasan wakatobi merupakan implikasi dari ketidak harmonisan kebijakan yang diberlakukan. Konflik ini muncul tak lain akibat adanya kebijakan yang tumpah tindih antara Badan otoritas pariwisata (BOP), Taman Nasional Wakatobi dan Masyarakat Adat wakatobi.