Perda Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan–Sipituhuta Ketok Palu

 

 Admin    20-02-2019    00:00 WIB  

oleh Ayat S Karokaro [Medan] di 20 February 2019

 

Sejak lama, warga menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak adat. Mereka berusaha mempertahankan hutan kemenyan yang masuk konsesi PT Toba Pulp Lestari. Konflik berlarut, terjadi bentrok, sampai penangkapan warga

 

Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengeluarkan hutan adat Pandumaan-Sipituhuta, sekitar 5.000-an hektar dari konsesi perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari dan masuk wilayah pencandangan hutan adat

 

Pada awal 2019, DPRD dan Pemerintah Humbang Hasundutan, akhirnya ketok palu Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan Sipituhuta

 

Perjuangan lanjutan, antara lain mendorong terbit Perda Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Adat Pandumaan-Sipituhuta dan penetapan hutan adat.

 

 

Kabar baik datang di pemula tahun 2019. Perjuangan panjang masyarakat adat Pandumaan–Sipituhuta membuahkan hasil manis. Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara, akhirnya menyetujui Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan–Sipituhuta.

 

Setelah sah, pemkab, dengan ditandatangani Bupati Humbahas, Dosmar Banjarnahor, menetapkan Perda PPMHA Pandumaan–Sipituhuta, Humbahas, dengan Nomor Registrasi 3/19/2019.

 

Sejak lama, warga menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, pemerintah akhirnya mengakui. Sebelumnya, pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengeluarkan hutan adat Pandumaan-Sipituhuta, sekitar 5.000-an hektar dari konsesi perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari.

 

Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa masyarakat (KSPPM), pada diskusi di Medan, belum lama ini, mengatakan, setelah ada perda, selanjutnya memohonkan kepada KLHK untuk menerbitkan SK hutan adat. Mereka, sudah ajukan itu bersama masyarakat Pandumaan-Sipituhuta.

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (14/2/19) mengatakan, dengan ada perda ini jadi alat menata kembali penguasaan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta, yang selama ini masuk konsesi TPL. Pengesahan keputusan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, soal pencadangan hutan adat harus segera beres.

 

“Selamat buat masyarakat Pandumaan–Sipituhuta, karena sudah mendapatkan kembali hak hutan adat mereka. Juga teman-teman KSPPM yang sudah berjuang begitu gigih mendampingi. Ini bukti, kerja teguh akan menghasilkan keberhasilan,” katanya.

 

Dia bilang, TPL harus menjalankan putusan pemerintah, di mana area mereka sudah keluar dari konsesi hingga tak boleh ada kegiatan apapun lagi di sana. Kalau ada pembangkangan, katanya, mereka dianggap melawan keputusan negara hingga pemerintah wajib memberikan tindakan tegas.

 

“Pencocokan peta wilayah adat Pandumaan–Sipituhuta harus segera untuk mengetahui batas wilayah. Perusahaan harus tunduk pada penyelenggara negara.”

 

Selain Pandumaan–Sipituhuta, kata Rukka, sudah ada 70 produk hukum daerah, baik itu perda dan SK Bupati.

 

Selama ini, AMAN dalam tiga pemilu terakhir mengutus kader AMAN masuk sebagai wakil rakyat guna memastikan perda-perda itu.

 

Kini, DPRD dan pemerintah daerah masih belum sukarela membuat perda. Jadi, utusan-utusan masyarakat adat perlu menjadi anggota legislatif guna mendorong perda.

 

Selama ini, katanya, produk hukum pengakuan masyarakat adat banyak lewat perwakilan masyarakat adat di DPRD kabupaten, kota dan provinsi. Dari pemerintah, katanya, masih jauh dari harapan. Pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah maupun penetapan hutan adat dari pemerintah pusat, masih sangat kecil, bahkan UU masyarakat adat tak ada kejelasan.

 

Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Eksternal, mengatakan, perda ini bagian atau tahapan menyelesaian hak atas tanah soal hutan adat.

 

KLHK, katanya, harus lebih cepat menerbitkan SK hutan adat guna memberikan kepastian. “KLHK harus segera menerbitkan SK hutan adat. Penting segera diselesaikan.”

 

Selain itu, ada sejumlah masyarakat sempat ditahan dan masih jadi tersangka. Untuk itu, katanya, harus segera tindaklanjut oleh kepolisian lewat surat penghentian penyidikan perkara (SP3) pasca penerbitan perda dan pengakuan negara terhadap mereka.

 

“Harus ada surat kepada warga dari kepolisian bahwa mereka tak merusak melainkan mempertahankan hak tanah adat,” katanya seraya bilang, harus segera pemulihan nama baik mereka

 

Saurlin Siagian, Badan Pengurus Hutan Rakyat Institute (HaRI), menyambut positif perda masyarakat adat ini akhirnya keluar.

 

Menurut dia, perda ini hasil kerja besar berbagai pihak selama 10 tahun terakhir. Namun, katanya, perda belum cukup harus diikuti pengakuan wilayah adat dan penetapan hutan adat.

 

Sekadar melihat ke belakang, katanya, sudah terlalu banyak korban kriminalisasi, penahanan, penangkapan, dan penghancuran hutan kemenyan sejak awal 2000-an.

 

Dia mengapresiasi Komnas HAM, karena memasukkan kasus ini sebagai prioritas dalam Inkuiri Nasional tahun 2013.

Kantor Staf Presiden menginisiasi penyelesaian konflik dengan menjadikan Pandumaan–Sipituhuta, sebagai salah satu prioritas dari 11 lokasi masyarakat adat yang ada di Tapanuli, pada pertengahan 2016. Ia disambut KLHK pada Desember 2016, dengan mengeluarkan wilayah adat itu dari konsesi TPL, dengan status dicadangkan untuk hutan adat.

 

“Dorongan keras kelompok masyarakat sipil dan keterbukaan pemerintah, jadi kunci lahirnya perda ini,” kata Saurlin.

 

Dia bilang, pekerjaan berat berikutnya bukan hanya mendorong kelahiran pengakuan perda teritori adat, tetapi restorasi atas kerusakan hutan.

 

“Kerusakan besar terjadi karena bentang alam sekitar hutan adat telah habis ditebang. Artinya, ekosistem kemenyan telah hancur, berakibat kerusakan produksi kemenyan. Restorasi ini perlu waktu lama dan dukungan dana pula.”

 

https://www.mongabay.co.id/2019/02/20/perda-perlindungan-masyarakat-adat-pandumaan-sipituhuta-ketok-palu/

Berita Lain