Jalan Panjang yang Terjal Masyarakat Adat Dayak Pitap Melawan Ekstraktivisme dan Memperoleh Pengakuan Negara

 

 Admin    04-09-2022    00:00 WIB  

Gambar  Ritual/upacara adat ‘Aruh Palas Paung’ Dayak Pitap di Desa Kambiyain

Pitap merupakan salah satu nama komunitas adat Dayak yang berada di daerah pegunungan Meratus, pegunungan yang terhampar sejauh 600 kilometer melintang dari arah tenggara Provinsi Kalimantan Selatan hingga melintasi Kalimantan Timur.

 

Di Kalimantan Selatan, pegunungan Meratus sendiri melintasi setidaknya sembilan kabupaten. Ada berbagai macam komunitas yang hidup dan penghidupannya di areal hutan pegunungan Meratus, salah satunya komunitas tersebut adalah masyarakat adat Dayak Pitap.

 

Masyarakat adat Dayak Pitap secara administrasi berada di Kabupaten Balangan, Kecamatan Tebing Tinggi dan tersebar di lima  desa. Lima desa yang mencakup wilayah adat Dayak Pitap tersebut, yaitu Desa Mayanau, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain, dan Desa Ajung. Tentunya tidak semua masyarakat di desa tersebut mendukung keberadaan masyarakat adat Dayak Pitap. Ada berbagai macam persoalan sosial dan politik yang mempengaruhi keberadaan mereka.

 

Sebagai dasar untuk memperjuangkan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya, masyarakat Dayak Pitap bersama organisasi masyarakat sipil dan jaringan melakukan sosialisasi baik di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Komunitas Sumpit bersama Walhi Kalimantan Selatan aktif terlibat sosialisasi tentang pentingnya pengakuan masyarakat adat dan kelestarian hutan kepada para tokoh dan pemuda di beberapa desa yaitu Desa Mayanau, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain, dan Desa Ajung.

 

Selain sosialisasi, gerakan masyarakat Dayak Pitap dalam upaya melindungi hutan dan wilayah kelola mereka direpresentasikan melalui gerakan menolak investasi untuk industri yang merusak seperti pengusahaan hutan, perkebunan sawit skala besar, tambang bijih besi, illegal logging, dan pertambangan batu bara.

 

Deforestasi Masif Perusahaan Kayu

 

Pada tahun 1980 hingga 1987, masyarakat Dayak Pitap secara kolektif membangun gerakan perlawanan menolak aktivitas perusahaan PT. Fass Forest yang juga merupakan bagian dari  Daya Sakti Group. PT. Fass Forest saat itu telah mengantongi SK.HPH No. 174/kpts/um/3/1980 tanggal 14 Maret 1980 yang merupakan dokumen untuk melegalkan eksploitasi yang akan dilakukan perusahaan tersebut.

 

Praktik eksploitasi hutan yang menyebabkan deforestasi itu juga diiringi kisah mistik yang diyakini oleh masyarakat Dayak Pitap adalah bentuk kuasa leluhur mereka dalam mengutuk perambah hutan keramat di wilayah adat Dayak Pitap. Pada medio tahun 1986, ada empat orang dari  pihak perusahaan yang menjadi gila setelah mengeksploitasi hutan keramat Dayak Pitap. Menurut penuturan warga, pihak perusahaan meminta tokoh adat Dayak Pitap untuk mengobati pihak perusahaan yang menjadi gila tersebut.

Dari cerita tersebut, bukan hanya pihak perusahaan yang menanggung resiko akibat eksploitasi besar-besaran. Akan tetapi, ari pihak masyarakat adat Dayak Pitap juga menghadapi hal yang serupa bahkan lebih buruk. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1987, setidaknya ada 17 orang terserang wabah diare hingga meninggal dunia yang diduga akibat mengkonsumsi air sungai Pitap yang tercemar karena air sungai Pitap tersebut tidak lagi jernih dan sudah tercampur material longsor dan sebagainya akibat deforestasi di wilayah hulu.

 

Pasca kejadian buruk tersebut, PT. Fass Forest hengkang dari wilayah adat Dayak Pitap. Namun, masih banyak sisa-sisa dari kegiatan produksi perusahaan berupa potongan-potongan kayu besar yang tertinggal. Pada tahun 1995, banjir bandang terjadi akibat hujan deras dan diperparah kiriman kayu gelondongan sisa aktivitas penebangan oleh perusahaan di wilayah adat Dayak Pitap menelan dua orang korban jiwa, satu gedung sekolah hanyut, empat jembatan gantung putus, beberapa rumah rusak, hewan ternak hanyut, dan cadangan gabah yang ada di ladang dan di rumah juga tidak terselamatkan karena hanyut atau rusak sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

 

Bagai mati satu tumbuh seribu, setelah angkat kakinya PT. Fass Forest dari wilayah adat Dayak Pitap, kembali muncul perusahaan bernama PT. Kodeco. Pada tahun 1999, PT. Kodeco mendapat izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) di wilayah adat Dayak Pitap sebagai kompensasi hutan produksi yang diubah menjadi kawasan Hutan Lindung Kapet Batulicin atau yang dikenal dengan istilah ‘tukar guling Hutan Lindung Meratus’. Kawasan yang diperuntukkan untuk PT. Kodeco ini pun ternyata adalah bekas lahan PT. Fass Forest yang ditinggalkan pada tahun 1987.

 

Tidak cukup dengan kehadiran PT. Kodeco, diam-diam hadir lagi satu perusahaan yang mempunyai izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bernama PT. Bina Alam Indah Lestari (BAIL) yang juga mengaveling wilayah adat Dayak Pitap. PT. BAIL ini juga terlambat melakukan pemberitahuan kepada tokoh masyarakat adat setelah melakukan kegiatan perusahaan. Selain baru pada tahun 2002 mereka meminta izin kepada tokoh adat, Perusahaan juga tidak terlalu detail dalam menyampaikan apa yang mereka lakukan, dalam pertemuan dengan tokoh adat tersebut mereka hanya meminta izin untuk membuat jalan angkut kayu saja. Padahal dalam aktivitas tersebut menurut masyarakat adat, perusahaan juga merambah dan melewati hutan adat Dayak Pitap.

 

Krisis Moneter dan Penebangan Kayu Ilegal

Beratnya tantangan untuk mempertahankan wilayah adat juga terasa saat terjadi krisis moneter pada 1997. Dampak tersebut juga menyasar masyarakat adat Dayak Pitap dan beberapa wilayah di sekitar pegunungan Meratus. Pada medio tersebut (1997), camat dari salah satu kecamatan yang ada di sekitar berani mengeluarkan surat pungutan desa untuk kegiatan penebangan kayu. Akhirnya, surat pungutan tersebut menjadi salah satu legitimasi kelompok penebang liar untuk melakukan penebangan hutan di wilayah adat Dayak Pitap, dan cukup dengan membayar uang pungutan sebesar dua puluh lima ribu rupiah per meter kubik ke pemerintahan desa.

 

Perilaku pemerintahan desa tersebut juga berdampak buruk pada situasi sosial, politik, dan budaya lokal masyarakat adat Dayak Pitap. Gesekan di antara warga menjadi semakin sering terjadi yang disebabkan rasa saling curiga. Penebangan liar dan krisis moneter ini juga secara perlahan hampir menggerus habis nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang melekat di masyarakat adat Dayak Pitap.

 

Hingga akhirnya mengetuk hati para tokoh masyarakat Dayak Pitap untuk mulai mendiskusikan dampak buruk tersebut. Dilanjutkan dengan pertemuan kampung yang membuahkan kesepakatan untuk menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu untuk dijual. baik oleh pihak luar maupun masyarakat adat itu sendiri.

 

Perkebunan Sawit Skala Besar

Bukan hanya pada era HPH yang menjadi ‘kanker’ bagi hutan hujan tropis di wilayah pegunungan Meratus, namun juga diikuti dengan ancaman ekspansi perkebunan sawit skala besar yang juga masif. Ancaman dari ekspansi perkebunan sawit mulai terasa pada tahun 1999, perusahaan bernama PT Malindo Jaya Diraja (MJD) menjadi buah bibir saat itu. Walhi Kalimantan Selatan kala itu juga sedang melakukan aktivitas di Desa Ajung. Pertemuan antara masyarakat adat Dayak Pitap dan anggota Walhi Kalimantan Selatan membuahkan banyak diskusi. Semakin hari diskusi pun semakin mendalam sehingga disepakati bersama untuk melakukan pertemuan kampung dan lokakarya. 

 

Pada tanggal 15 hingga 17 September tahun 1999 dilaksanakanlah pertemuan kampung tersebut dengan agenda memetakan masalah. Pertemuan ini melibatkan 5 dusun yaitu Dusun Ajung Hilir, Dusun Ajung Hulu, Dusun Nanai, Dusun Kambiyain dan Dusun Iyam.

Secara garis besar masalah pada saat itu adalah keterbatasan akses jalan menjadi salah satu faktor utama yang menghambat roda perekonomian masyarakat adat Dayak Pitap. Misalnya distribusi atau pemasaran hasil bumi dari Dayak Pitap yang tidak maksimal dan mahalnya harga barang dari luar. Sehingga iming-iming perusahaan berpeluang besar diterima oleh masyarakat.

 

Berangkat dari diskusi dan pertemuan kampung masyarakat adat Dayak Pitap mulai bersatu kembali memperkuat nilai adat dan upaya melindungi hutan dari ancaman industri ekstraktif apapun salah satunya perkebunan sawit skala besar. Pada November 1999 kepala desa pada waktu itu membuat surat pencabutan persetujuan perkebunan sawit yang dibuat kepala desa sebelumnya. Surat itu juga dikirim kepada PT MJD di Amuntai.

 

Namun, pada bulan Mei tahun 2000 diadakan peresmian operasi perusahaan PT. Malindo Djaya Diraja (MDD). Peresmian ini juga dihadiri oleh Suhailin Muchtar yaitu Bupati Kabupaten Hulu Sungai Utara periode 1997 hingga 2002. Dengan didukung pemerintah daerah kala itu, sehingga semakin kuat pula posisi PT MJD.  

 

PT. MJD merupakan perusahaan kelapa sawit yang mengantongi izin seluas 1.000 hektar di wilayah adat Dayak Pitap. Perusahaan sawit ini juga telah membangun areal pembibitan seluas empat hektar dari 150 hektar yang direncanakan berada di Desa Gunung Batu. Selain itu, mereka juga telah membangun jalan sepanjang empat kilometer. Namun, pada akhir Tahun 2001, semua bibit yang ada di tempat pembibitan itu telah diangkut. Sekarang hanya tersisa bekas bangunan pembibitan dan padang alang-alang. Entah apa yang membuat PT MJD menghentikan operasinya, mungkin karena banyaknya penolakan saat itu atau memang perusahaan tidak cukup mampu untuk berinvestasi di wilayah itu.

 

Pertambangan Bijih Besi

Bukan hanya dari dalam negeri, ternyata kekayaan sumber daya alam wilayah adat Dayak Pitap dilirik oleh pihak asing seperti Korea Utara. Bulan Mei 2001 telah ditanda tangani surat kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Investor asal Korea Utara tersebut yaitu PT. Han In Iron Mining.

 

Perusahaan ini juga mempunyai anak perusahaan lagi yang akan dioperasikan di wilayah adat Dayak Pitap. Perusahaan tersebut bernama PT. Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) yang telah mengantongi izin konsesi sejak 1998 seluas 3.604 hektar. PT SBSK inilah afiliasi dari perusahaan pertambangan asal Korea PT. Han In Iron Mining tersebut.

 

PT. SBSK merencanakan eksploitasinya dibagi ke dalam tiga zona dengan total luasan 990 hektar. Wilayah tersebut terdapat di kaki gunung Hauk Laki dan sebagiannya lagi di gunung Hauk Bini yang merupakan wilayah keramat masyarakat adat Dayak Pitap. Selain itu, wilayah ini juga merupakan lahan perkebunan karet masyarakat. Jika nantinya wilayah ini digarap, tidak menutup kemungkinan akan ada beberapa kampung yang berpotensi akan tergusur dan hilang.

 

Tantangan untuk memenangkan pengakuan negara terhadap masyarakat adat Dayak Pitap juga semakin banyak. Dayak Pitap juga terkena dampak setelah adanya pemekaran Kabupaten di Kalimantan Selatan, yaitu dimekarkannya Kabupaten Hulu Sungai Utara menjadi Kabupaten Balangan dengan terbitnya Undang-Undang nomor 2 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten tanah bumbu dan kabupaten balangan di provinsi Kalimantan Selatan. Pemekaran ini mengakibatkan proses litigasi pengakuan masyarakat adat Dayak Pitap kembali mundur. Karena Dayak Pitap yang awalnya masuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara kini masuk dalam wilayah Kabupaten Balangan.

 

Kini, sembari masyarakat adat Dayak Pitap berupaya tetap konsisten melakukan perlawanan terhadap ekstraktivisme masif perusahaan dan negara mereka juga terus mengupayakan jalan politis untuk mendapat pengakuan melalui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di wilayah Balangan.

 

Pada pertengahan 2019 lalu, tepatnya pada bulan Juni, badan eksekutif dan legislatif Kabupaten Balangan menyepakati persetujuan bersama atas berjalannya pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kelembagaan Adat Dayak. Meskipun belum sesuai dengan apa yang diharapkan dan diusulkan oleh masyarakat adat Dayak Pitap, Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif DPRD Balangan ini merupakan lampu hijau menuju pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kalimantan Selatan.

 

Meski mendapat perhatian organisasi masyarakat sipil sejak tahun 1990-an, upaya mendapat pengakuan negara melalui Perda ini cukup banyak tantangan dan kendala. Selain birokrasi yang panjang, juga situasi politik antar komunitas yang  penuh dinamika. Karenanya, perlu banyak cara-cara persuasif dalam menggalang dukungan antar komunitas adat melalui tokoh adat di masing-masing wilayah.

Gambar  2 Peta Wilayah Adat Dayak Pitap Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan

Dari panjangnya perjalanan masyarakat adat Dayak Pitap memperjuangkan pengakuan, dalam prosesnya wilayah mereka telah terpetakan secara partisipatif. Pada 2018 lalu kegiatan pemetaan dilakukan bersama Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalimantan Selatan. Ada perwakilan lembaga yang juga telah lama mendampingi masyarakat adat Dayak Pitap pada saat pemetaan. Selain itu, ada proses belajar bersama dalam kegiatan pemetaan tersebut.

 

Dari proses pemetaan partisipatif tersebut telah terpetakan wilayah adat Dayak Pitap di Kabupaten Balangan dengan total luas wilayah yang dipetakan seluas 22.806 hektar. Luas wilayah tersebut secara administratif masuk dalam lima desa, yaitu Desa Mayanau, Desa Langkap, Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain, dan Desa Ajung.

 

Dalam upaya perjuangan pengakuan masyarakat hukum adat, peta menjadi salah satu alat pendukung penting sebagai basis argumentasi. Namun, banyak alat atau upaya lainnya yang juga tidak kalah penting sehingga perlu adanya konsistensi bersama. Bukan hanya dari dalam masyarakat adat itu sendiri, namun juga dari pihak-pihak lain yang mendukung pengakuan hak masyarakat hukum adat Dayak Pitap di Kalimantan Selatan.

 

 

 

 

 

 

 

Berita Lain